Beritaindotco | Kota Depok – Kondisi Dampak Terkini
Hari ini, (6/4/2021) kejahatan ekonomi masalalu yang telah menjerumuskan bangsa
ini pada kemiskinan tujuh turunan yaitu BLBI dan Century terancam terhapus jejaknya, hilang tanpa terjerat hukum dan Negara terus merugi hingga hampir satu abad kemerdekaan : 2043. Bagaimana tidak, proses hukum mega skandal tersebut terancam terhenti akibat kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan upaya pra peradilan kasus BLBI dan Century oleh sekumpulan koruptor konglomerasi. Dari kasus BLBI, yang awalnya Rp. 650 Triliun tahun 1998 Negara dari nilai
cicilan pengembalian hutang dengan bunga dan obligasi rekapitulasi fix rate dan
variable rate saja tahun 2015 ini telah merugi hingga Rp. 2000 Triliun dan terancam hingga Rp. 5000 Triliun ( 2,8 x APBN 2015 ) hingga tahun 2033 dan
telah diperpanjang hingga 2043. Nilai tersebut belum termasuk nilai guna dan nilai tambah dari aset yang seharusnya dikembalikan oleh obligor dari Surat Keterangan Lunas (SKL). Sedangkan untuk kasus Century dengan kerugian Rp. 6,7 triliun justru ditambah lagi Rp. 1,5 Triliun.
Anatomi Kejahatan Ekonomi : BLBI
Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah kejahatan ekonomi besar
sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun sudah berlalu sekitar 17 tahun
sejak tahun 1998, penyelesaian kasus ini tidak menemui titik terang. Padahal, menurut
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000, BLBI merugikan keuangan negara Rp. 138,442 Triliun dari Rp. 144, 536 triliun BLBI yang disalurkan1, atau dengan kebocoran sekitar 95,78%. Dari audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, dengan rincian: 10 Bank Beku Operasi, 5 Bank Take Over,
18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan 15 Bank Dalam Likuidasi.
Hasil kejahatan BLBI telah beranak pinak menjadi konglomerasi kuat di Indonesia.
Hal ini dapat tercermin dari audit BPK ini juga merinci 11 bentuk penyimpangan
senilai Rp. 84,842 triliun, yaitu: BLBI digunakan untuk membayar atau melunasi
modal pinjaman atau pinjaman subordinasi; Pelunasan kewajiban pembayaran bank
umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; Membayar kewajiban pihak terkait; Transaksi surat berharga; Pembayaran dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan; Kerugian karena kontrak derivatif; Pembiayaan placement baru PUAB; Pembiayaan ekspansi kredit; Pembiayaan investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekruitmen, peluncuran produk dan pergantian sistem; Pembiayaan over head bank
umum; Pembiayaan rantai usaha lainnya.
Pihak lain juga melakukan audit, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit terhadap 10 Bank Beku Operasi (BKO) dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). BPKP menemukan 11 dugaan penyimpangan senilai Rp. 54,561 triliun. Temuan kerugian negara dan penyimpangan versi BPK dan BPKP diatas akan menjadi lebih mencengangkan jika biaya penyehatan perbankan dari
tahun 1997-2004 dihitung mencapai Rp. 640,9 triliun.
Dalam perkembangannya kita mengetahui, terdapat sejumlah kebijakan yang janggal
meskipun pemerintahan RI telah melewati lima Presiden hingga saat ini. BPPN yang dibentuk pada bulan Januari 1998 melalui Keputusan Presiden Nomor 27 tahun 2008 hingga berakhir tahun 2004 (Kepres 15 tahun 2004), dengan tiga tugas utamanya ternyata masih menyisakan masalah mendasar. Demikian juga dengan pilihan
penyelesaian dengan mekanisme out off court settlement. Perjanjian Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang diturunkan menjadi tiga juga mengandung
kontradiksi sendiri, yaitu:
- MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) senilai Rp. 85,9 triliun, yang ditandatangani 5 obligor;
- MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement) senilai Rp. 23,8
triliun; dan, - Akta Pengakuan Utang (APU)
Berbagai kebijakan diterbitkan di masing-masing era kepresidenan
- Di masa pemerintahan Presiden Habibie, 65 Bank Dalam Penyehatan (BDP)
dikelola oleh BPPN. - Di era Presiden Abdurahman Wahid rekapitalasi dilakukan terhadap Bank Niaga dan Bank Danamon dan dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Kepres 177/1999. Di tahun 2000 disahkan UU Nomor 25
tahun 2000 tentang Propenas, dan tahun 2001, - Di era pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002 yang intinya memberikan jaminan kepastian pada obligor yang kooperatif dan sanksi terhadap yang tidak kooperatif. Berdasarkan “Inpres Megawati” inilah diterbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada lima obligor kakap. Kejanggalan yang sangat tampak terlihat pada: ternyata obligor yang mendapatkan stempel LUNAS masih mempunyai kewajiban atau utang yang belum dilunasi, dengan total 89,87 triliun.
- Sayangnya pada Era SBY, kasus ini seperti berhenti selama sepuluh tahun. Hanya KPK yang mencoba mewarnai penyelidikan baru terkait dengan dugaan korupsi pada SKL yang ternyata belum lunas. Penyelidikan KPK merupakan angin segar yang mengarah pada salah satu obligor BDNI Sjamsul Nursalim.
- Lebih parah, pada masa Jokowi saat ini. Penanganan kasus ini terancam terhenti karena KPK dilemahkan dengan kriminalisasi, dan ada upaya hukum pra peradilan terhadap kasus BLBI khususnya SKL yang sedang di selidiki oleh KPK.
Hasil Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diserahkan ke DPR RI
(20 November 2009), jelas menyebutkan bahwa ada upaya kejahatan yang sistemik dalam Bailout Century senilai Rp. 6,7 Triliun. Setidaknya tergambar
dengan jelas 3 bagian indikasi pidana yaitu; dugaan Korupsi, dugaan pencucian uang dan dugaan kejahatan perbankan.
Indikasi Korupsi, digambarkan dengan dugaan pembiaran di dalam pengawasan Bank Indonesia atas Bank Century baik sebelum maupun sesudah
merger. Dilanjutkan dengan adanya gambaran indikasi penyalahgunaan wewenang terkait keputusan atas penyaluran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) di lingkungan Bank Indonesia dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Indikasi yang lain adalah dugaan
korupsi kebijakan dan pelanggaran aturan.
Dari temuan hasil audit BPK dapat disimpulkan telah terjadi dugaan korupsi
dalam proses penting Century dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Telah terjadi dugaan korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, pelanggaran peraturan dan menyebabkan terjadinya kerugian Negara yang
sangat besar.
2) Dari PMS sebesar Rp6.762,36 miliar, di antaranya sebesar +/- Rp 5.869,48 miliar digunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi akibat perbuatan pemegang saham dan pihak-pihak terkait (terafiliasi).
Pada tahun 2014 lalu, KPK menyatakan kerugian akibat Bailout Century mencapai Rp 689 Miliar dalam proses Penetapan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik sebesar Rp. 6,782 triliun. Selain itu, vonis Pengadilan Tipikor Jakarta dan dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta pusat menyatakan bahwa Budi Mulya (mantan Deputi Bank Indonesia) dihukum 10 tahun penjara.
Budi Mulya didakwa turut bersama-sama dengan Mantan Gubernur BI Boediono,
Mantan Deputi Bank Indonesia, Miranda S Goeltom, mantan deputi bidang 6 Bank Indonesia, Siti Fadjriah mantan gubernur bidang 7 BI Budi Rochadi,
mantan Pemilik Bank Century, Robert Tantular dan Harmanus H Muslim secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam kaitan pemberian
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century. Hingga saat ini, justru pada masa akhir era SBY, Bank Mutiara (Century) di Bailout lagi senilai Rp. 1,5 T.
Saat ini, KPK masih menunggu putusan Mahkamah Agung untuk menjerat tersangka baru dalam pemberian hal FPJP secara bersama sama. Sayangnya, saat ini pada era Jokowi KPK lagi-lagi dilemahkan dan kasus Century terancam tidak dapat berkembang jauh. Dampak kriminalisasi terhadap KPK sangat besar, yaitu kasus BLBI dan Century terancam dimatikan.
Dalam rangkaian Kasus-kasus korupsi ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Kasus Korupsi BLBI masih menjadi beban Negara, merugikan keuangan Negara hingga RP. 5000 triliun dan merampas kesejahteraan selama tujuh turunan hingga 2043 (menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka).
- Kejahatan BLBI masih menjadi penyebab defisit keuangan nagara setiap
tahun yang selalu membesar dan menyebabkan ketergantungan terhadap
hutang luar negeri, jika tidak dibiarkan dapat menyebabkan krisis
keuangan yang tidak lama lagi. - Hingga saat ini, total obligasi rekap yang dibayarkan Negara belum transparan dan akuntabel disampaikan kepublik, sehingga berpotensi
juga diselewengkan. - SKL belum sepenuhnya menjadi jaminan pengembalian uang ke Negara, penerbitan SKL menurut KPK menjadi bentuk baru korupsi dalam
skandal BLBI - Penegak hukum, dalam hal ini KPK baru menyelidiki hanya satu SKL dari satu obligator saja, belum semua.
- Asset dan keuntungan yang dikelola oleh pengemplang dana BLBI belum
sepenuhnya diaudit dan dapat ditarik kembali oleh Negara, akibatnya
obligator ini justru menjadi konglomerasi yang parahnya memimpin ekonomi Indonesia. - Dalam kasus Bank Century nampak terbukti adanya kejahatan ekonomi berupa korupsi yang sistemik, terbukti merugikan keuangan Negara.
Namun semua aktor belum dapat diproses secara hukum. - Dalam setiap Era kepemimpinan Presiden, kebijakan terhadap upaya
penanganan kasus BLBI berbeda-beda dan cenderung sangat lambat. - KPK telah menjadi garda terdepan dalam upaya menuntaskan kejahatan
ekonomi masa lalu yaitu BLBI dan Century, namun sayangnya ini telah dilemahkan dan dikriminalisasi dan parahnya Presiden Jokowi mendiamkan. Padahal pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan politik yang kuat. - Presiden Jokowi bertanggungjawab terhadap kriminalisasi KPK yang
mengancam matinya penuntasan kasus BLBI dan Century ini. (Redaksi)