Media Beritain | Kota Depok – Dalam dunia jurnalistik, seorang wartawan/jurnalis dituntut untuk memahami isi dari undang-undang tentang PERS yang menjadi acuan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, disamping itu, untuk mendapatkan sebuah informasi sebagai bahan pemberitaan publik, seorang wartawan juga harus mengerti tehnik mengolah data hingga menjadi sebuah alur cerita yang berdasarkan fakta dari rangkaian kejadian sesuai sumber-sumber kredibel dalam penelusuran informasi yang didalaminya.
Berikut kami sajikan basic dan tehnik pengolahan informasi sebagai berikut :
Liputan Investigasi
Peliputan investigasi berbeda dengan kegiatan jurnalisme pada umumnya. Kisah-kisah peliputan investigasi juga memiliki perbedaan dengan pola kisah jenis pemberitaan yang lain. Liputan investigasi bukan lagi hanya berdasarkan agenda pemberitaan yang terjadwal di ruang redaksi, melainkan peliputan yang juga tidak lagi dibatasi oleh tekanan-tekanan waktu atau tenggat (deadline). Wartawan investigasi memaparkan kebenaran yang ditemukan, lalu melaporkan adanya kesalahan-kesalahan, kemudian menyentuh serta mengafeksi publik terhadap persoalan yang dikemukakan.
Kasus-kasus investigasi dalam kumpulan tulisan dikemukakan oleh Hugo de Burgh (2006, 12-23) yang meliputi permasalahan: hal-hal yang memalukan, menyalahgunakan kekuasaan, dasar faktual dari hal-hal aktual yang tengah menjadi pembicaraan publik, keadilan yang korup, memanipulasi laporan keuangan, pelanggaran hukum, perbedaan antara profesi dan praktisi, hal-hal yang sengaja disembunyikan.
Wartawan investigasi berusaha mendapatkan data dari kebenaran yang tidak jelas, samar, atau tidak pasti. Topik-topik investigasi dilakukan dengan mengukur moralitas benar atau salah, dengan pembuktian tak memihak yang didapat melalui riset. Bukan sekadar menolak kesepakatan, melainkan menyatakan sesuatu yang terjadi sesuai dengan moral. Tujuan peliputan investigasi untuk memberitahu kepada publik adanya pihak-pihak yang berbohong dan menutup-nutupi kebenaran.
Publik diharapkan waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Berdasarkan tujuan tersebut dapat dilihat bahwa ada tujuan moral. Segala upaya yang dilakukan oleh wartawan investigasi dimotivasi berdasarkan hasrat untuk mengoreksi keadilan dan menunjukkan adanya kesalahan.
Menurut Melvin Mencher (1997, 263), the moral component merupakan unsur penting peliputan investigasi. Wartawan mengumpulkan data menguatkan fakta untuk meningkatkan motivasi moral. The desire to correct an injuctice, to right a wrong, and persuade the public to alter the situation (Santana 2003, 100-101).
Dengan demikian, penilaian moral bertanggung jawab mengandaikan adanya verifikasi. Karena itu, moral terkait fakta dapat diverifikasi oleh wartawan.
Peliputan investigasi mengajak pembaca untuk memerangi pelanggaran yang tengah berlangsung dan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Investigasi berasumsi pada peliputan berbahaya atau dangerous reporting. Wartawan berhadapan dengan kesengajaan pihak-pihak yang menolak urusannya diselidiki, dinilai, dan dilaporkan kepada pembaca. Karena itu, kewaspadaan dalam profesi kewartawanan menjadi tolak ukur keberhasilan investigasi.
Peliputan investigasi bukan hanya menyampaikan dugaan adanya persoalan pelanggaran, melainkan juga peliputan yang memproduksi pembuktian konklusif terhadap persoalan dan pelaporan.
Peliputan investigasi terkait dengan upaya mengembangkan basis data dan fakta. Nilai mutu laporan jurnalistik ini terletak dalam membangun dasar fakta.
Hasil liputan mengeluarkan keputusan atas dasar fakta yang melingkupi persoalan yang dilaporkan oleh wartawan. Untuk itu, peliputan ini memprioritaskan kesiapan kerja wartawan selalu mengecek fakta; wartawan tidak mudah menaruh kepercayaan pada segala sesuatu, tetapi tidak langsung mempercayai orang yang memiliki kepentingan tertentu (vested interest).
Pada peliputan investigasi, wartawan dapat menemukan kasus tertentu yang mesti dibuka dengan sengaja. Narasumber diasumsikan mempunyai kemungkinan untuk memanipulasi fakta. Untuk itu, ada dua bentukan umum kerja jurnalisme investigasi.
Pertama, terkait dengan pekerjaan menginvestigasi dokumen-dokumen (the paper trails) dan penyelidikan terhadap subjek-subjek individu yang terkait dengan permasalahan.
Kedua, bidang umum peliputan investigasi ini diistilahkan dengan paper trails and people trails (Steve Weinberg, 1996).
Wartawan mencari bahan-bahan dokumentasi dari publikasi koran, majalah, televisi, radio, buku-buku referensi, tesis atau disertasi, komputer berbasis data dan internet.
Penelusuran dokumen melalui saluran komunikasi untuk memeriksa kebenaran dari isi pernyataan narasumber terhadap suatu peristiwa disebut paper trails.
Sementara itu, wartawan memperoleh keterangan dari narasumber yang berwenang dan tepercaya untuk memperkuat pembuktian dengan fakta peliputan investigasi disebut people trails.
Peliputan investigasi (Harsono 2012, 244) memiliki ciri sebagai berikut :
a) Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis.
b) Paper trails yang dilakukan untuk mencari kebenaran dalam mendukung hipotesis.
c) Wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi.
d) Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas.
Dalam hal ini, termasuk melakukan metode penyamaran dan memakai kamera tersembunyi.
Menurut Steve Weinberg (1996, 3-9) unsur-unsur peliputan investigasi, antara lain sumber investigasi, hipotesis riset, sumber sekunder, pikiran dokumentatif, narasumber, teknik riset, mengorganisasikan informasi dan menulis ulang, serta berpikir wisdom.
Berdasarkan keseluruhan peliputan yang dilakukan oleh wartawan investigasi ditemukan oleh peneliti beberapa unsur yang dapat dikenali menjadi karakteristik peliputan investigasi.
Namun, apa sebenarnya peliputan investigasi?
Menurut Atmakusumah Astraatmadja dalam “Laporan Penyidikan (Investigative Reporting)” (2001), reporting berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata reportare, artinya membawa laporan kejadian dari sebuah tempat pada saat telah terjadi sesuatu, sedangkan investigative berasal dari kata vestigum, yang berarti jejak kaki.
Hal ini menyiratkan berbagai bukti yang menjadi fakta dalam peristiwa. Jadi, investigasi merupakan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta tentang adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum.
Chris White (dalam Harsono 2012, 247) mengemukakan, pekerjaan jurnalisme investigasi, pertama, tertuju untuk mengungkapkan dan mendapatkan sebuah kisah berita yang bagus. Kedua, menjaga publik untuk memiliki kecukupan informasi dan mengetahui adanya bahaya di tengah kehidupan mereka.
Liputan investigasi dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporan sebagai berikut:
1) Mengungkapkan kepada publik, informasi yang perlu diketahui oleh publik karena menyangkut kepentingan dan nasib.
2) Laporan penyelidikan tidak hanya mengungkapkan hal-halyang secara operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai pada konsep yang keliru.
3) Laporan penyelidikan berisiko tinggi karena dapat menimbulkan kontroversi dan kontradiksi serta konflik.
4) Peliput memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap subjek laporan dan penerbitan pers.
5) Peliput harus memiliki idealisme, baik di dalam diri peliput maupun di sektorsektor lain pada organisasi penerbitan pers.
Ilmu Jurnalistik, menurut David Murphy (1991, 4-6) mengidentifikasi tiga level wartawan.
Pertama, wartawan melaporkan dan memaparkan kejadian.
Kedua, wartawan menjelaskan atau menginterpretasikan kejadian.
Ketiga, wartawan mencari bukti di balik peristiwa.
Dengan demikian, peliputan wartawan merujuk pada tipe wartawan general (general reporters), wartawan spesialis (specialist reporters) dan wartawan dengan pikiran investigatif (reporters with an investigative turn of mind).
Wartawan tipe general ialah wartawan yang mencari berita tanpa mengetahui lebih dulu subjek pemberitaan. Ia bekerja dalam ketergesaan deadline.
Berita yang diliput juga ditentukan oleh editor.
Kemudian, wartawan spesialis ialah wartawan yang memiliki rincian keterangan mengenai subjek liputan dan mencoba menjelaskan.
Sementara itu, wartawan yang bekerja dengan pikiran investigative selalu menyiapkan diri untuk mendengar berbagai hal yang dikatakan oleh publik. Wartawan investigasi juga mencari pemikiran yang berbeda dari publik yang berbeda.
Menurut Robert Greene, peliputan investigasi mengenal istilah penilaian post factum, artinya penilaian tentang adanya unsur sengaja “disembunyikan” atau “dirahasiakan” oleh pelaku dari beberapa kasus jika liputan telah tuntas dikerjakan karena tidak semua kasus kejahatan terhadap publik sengaja “dirahasiakan” atau “disembunyikan”.
Wartawan investigasi membutuhkan waktu lebih lama untuk mengungkapkan masalah. Ia juga sangat selektif dan skeptis terhadap bahan berita resmi,meneliti dengan kritis setiap pendapat, catatan dan bocoran informasi. Ia tidak serta merta membenarkannya. Unsur-unsur yang mendukung terciptanya good investigative reporters antara lain selalu ingin tahu, mampu mendapatkan, mampu memahami, mampu menyampaikan, menimbulkan keinginan beraksi, mempedulikan permasalahan orang.
Untuk mencapai kemampuan itu, wartawan investigasi memerlukan pengetahuan fakta-fakta, rasa iba terhadap pembaca, aksi publik, melawan ketamakan, dan perbaikan sosial.
- Tahap Liputan Investigasi
Ada sebelas tahap idealisasi dalam peliputan investigasi, ini terdiri dari :
1) Conception : Mencari berbagai ide. Ide atau gagasan diperoleh oleh wartawan melalui saran seseorang, menyimak berbagai narasumber reguler, membaca, memanfaatkan potongan berita, mengembangkan sudut pandang lain dari peristiwa berita, dan mengobservasi langsung.
2) Feasibility Study : Mengukur kemampuan dan perlengkapan yang diperlukan. Sejumlah hal yang perlu dipelajari oleh wartawan, sebelum memulai liputan investigasi, seperti berbagai halangan yang harus diatasi, tim yang diperlukan, kemungkinan adanya tekanan terhadap media, dan menjaga kerahasiaan dari media lain.
3) Go-No-Go Decision : Mengukur hasil investigasi yang dilakukan. Setiap liputan investigasi mesti memperhitungkan hasil akhir dari tujuan penyelidikan yang dikerjakan.
4) Basebuilding : Mencari dasar pijakan dalam menganalisis kasus.
5) Planning : Mengumpulkan, menyusun, dan memilih wartawan yang melaksanakan tugas-tugas tertentu.
6) Original Research : Mencari data dan menggali bahan dengan penelusuran paper trails dan people trails.
7) Reevaluation : Mengevaluasi kembali segala hal yang dikerjakan dan diperoleh, setelah meliput investigasi dan mendapat banyak masukan data dengan fakta.
8) Filling the Gaps : Mengupayakan liputan investigasi dengan menutupi beberapa bagian bahan yang belum menjadi data.
9) Final Evaluation : Mengukur hasil investigasi dengan kemungkinan buruk atau negatif. Selain mengevaluasi keakuratan data dari pihak-pihak yang hendak dilaporkan di dalam standar liputan investigasi.
10) Writing and Rewriting : Melaporkan dengan kesabaran, ketekunan, dan kemauan untuk memperbaiki penulisan berita, jika diperlukan.
11) Publication and Follow up Stories : Melaporkan liputan investigasi yang biasanya tidak hanya muncul dalam satu kali penerbitan, tetapi juga pembaca kerap memerlukan perkembangan dari masalah yang diungkap. (Williams, 1982, 84).
Sementara itu, Coroner (dalam Harsono, 2012) memiliki dua langkah dalam peliputan investigasi.
Pertama, penjajakan dan pekerjaan dasar.
Kedua, penajaman dan penyelesaian investigasi.
Pada setiap langkah terbagi ke dalam tujuh bagian rincian tahap kerja. Bagian pertama meliputi :
(1) Petunjuk awal;
(2) Investigasi pendahuluan;
(3) Pembentukan hipotesis;
(4) Pencarian dan pendalaman literatur;
(5) Wawancara pakar dan sumber-sumber ahli;
(6) Penjajakan dokumen-dokumen;
(7) Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi.
Bagian kedua meliputi:
(1) Pengamatan langsung di lapangan;
(2) Pengorganisasian arsip data;
(3) Wawancara lanjutan;
(4) Analisis dan pengorganisasian data;
(5) Penulisan;
(6) Pengecekan fakta;
(7) Pengecekan atas pencemaran nama baik.
Wartawan sebagai Agen dalam Strukturasi Proses Peliputan Agen dalam penelitian ini adalah wartawan. Wartawan dalam menjalani peliputan. Hubungan antara agen dan struktur berupa relasi dualitas. Dualitas terjadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu (dalam Giddens 1984, 7-25). Sifat dualitas pada struktur meliputi struktur sebagai medium dan struktur sebagai hasil dari tindakan-tindakan agen yang diorganisasikan secara berulang (recursively).
Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen, sedangkan tindakan-tindakan diberi bentuk bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur kausalitas ini berlangsung ke dua arah timbal-balik. Struktur dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining), sekaligus membuka kemungkinan (enabling) terhadap tindakan agen. Agen merujuk pada kapasitas tindakan.
Dalam teori strukturasi, agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran. Pertama, kesadaran diskursif (discursive consciousness). Artinya, tindakan yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh aktor tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakan sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu introspeksi atau mawasdiri (awareness) yang memiliki bentuk diskursif. Kedua, kesadaran praktis (practical consciousness). Artinya, tindakan yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakan sendiri. Namun, dalam ketidaksadaran (unsconscious) terletak ketiadaan tabir represi yang menutupi kesadaran praktis. Ketiga, motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition). Motif merujuk pada potensial terhadap tindakan. Namun, cara (mode) merupakan tindakan yang dilakukan oleh agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar tindakan-tindakan agen sehari-hari tidak secara langsung dilandaskan oleh motivasi tertentu.
Struktur menunjuk pada peraturan (rules) dan sumber daya (resources). Peraturan menunjuk pada prosedur tindakan. Struktur dibentuk oleh kesadaran praktis berupa tindakan berulang-ulang, yang tidak memerlukan proses refleksif (permenungan) dan tidak ada distansi dariagen terhadap struktur. Semakin banyak agen mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian dalam melakukan sesuatu, semakin memperkuat tatanan struktur (order). Perubahan (change) struktur dapat terjadi jika semakin banyak agen atau aktor yang mengadopsi kesadaran diskursif. Ketika agen berjarak dari struktur dan melakukan suatu tindakan dengan mencari makna atau nilai dari tindakan tersebut, hasilnya berupa tindakan menyimpang dari rutinitas atau kemapanan. Praktis mengubah struktur. Perubahan dapat terjadi karena konsekuensi dari tindakan. Hasilnya, sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya (unintended consequences). Unintended consequences secara sistematis menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui oleh munculnya tindakan-tindakan lain. Artinya, dalam kasus unintended consequences, bukan ada atau tidak-ada niat (intensi) yang penting, melainkan juga adanya kompetensi atau kapabilitas agen untuk melakukan perubahan.
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai Tugas, Fungsi Pokok dan Peranan Wartawan dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya, berikut kami sampaikan UU Pokok PERS yang menjadi acuan kerangka kerja dan kebijakan para Pegiat Jurnalistik.
#Redaksi #Jurnalis #Wartawan
#MediaBeritain #Reportase