Beritaindotco | Kota Depok – Kita semua tentu sudah tidak asing dengan nama organisasi Boedi Oetomo (Budi Utomo) yang ditetapkan kelahirannya pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini dianggap sebagai tonggak pertama kemunculan gerakan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Sebelum lahirnya Budi Utomo, sebenarnya telah lahir sejumlah organisasi dan pergerakan sejak tahun 1899 dan 1902 sampai 1904. Beberapa organisasi yang dimaksudkan al., Tiong Hwa Hwee Koan (1889), Suria Sumirat (1901), Mardiwara (1901), Bambang Sukolilo, Langen Sumitro Mardi Harsojo di tahun 1905. Mengutip Akira Nagazumi, keberadaan organisasi dan perkumpulan itu “…hidup dengan susah payah dan akhirnya mati lantaran kesulitan keuangan atau kekurangan semangat” (Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, 1989:47). Sekalipun organisasi Budi Utomo dihubungkan dengan nama Dr. Soetomo sebagai pendiri, namun pijar dan percikan awal pendiriannya bermula dari pemikiran Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Dalam rapat bersama dua organisasi bernama Tatarahardja dan Soekarahardja yang diselenggarakan tanggal 5 Februari 1905, Wahidin memberikan ceramah untuk meletakkan dasar bagi penyelenggaraan beasiswa bagi keberlangsungan pendidikan orang Jawa yang diperjuangkan beberapa tahun berikutnya. Setelah menuliskan pidatonya dalam serangkaian karangan, maka Wahidin mulai bergiat melakukan sejumlah kampanye pemikiran yang dimuat dalam majalah Retnodoemilah pada bulan Mei 1905, di mana beliau adalah ketua redaksinya. Setelah meninggalkan jabatan ketua redaksi Retnodoemilah, Dr. Wahidin berkunjung ke Batavia tahun 1907. Pemikiran Dr. Wahidin menarik minat dua orang siswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen – Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) bernama Soetomo dan Soeradji sehingga mengundangnya untuk mendengar gagasan-gagasannya. Perjumpaan Soetomo dan Wahidin mendorong Soetomo mendirikan suatu perkumpulan di dalam STOVIA yang kelak dinamai Budi Utomo pada tanggal 2 Mei 1908. Adapun Kongres Budi Utomo kemudian diselenggarakan pada tanggal 3-4 Oktober 1908. Sekalipun kongres berjalan dengan diwarnai perdebatan menentukan arah gerakan antara menjadi gerakan sosial (Wahidin, Soetomo) atau menjadi partai politik (Tjipto Mangoenkoesoemo), namun pada akhirnya berhasil ditempuh jalan tengah di mana penekanan utama pada gerakan sosial sekalipun tidak menafikan di kemudian hari menjadi berperan secara politik. Kongres di Yogyakarta berhasil menetapkan nama Tirtoekoesoemo, Bupati Karanganyar, menjadi Ketua Budi Utomo. Akira Nagazumi dengan apik menggambarkan respons para pemilih terhadap Tirtokoesoemo sbb: “Namun demikian terpilihnya R.A.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar, sebagai ketua, umumnya disambut baik oleh sidang. Tirtokoesoemo adalah salah seorang bupati maju yang pernah disebut-sebut di dalam pernyataan Soewarno yang pertama, mendapat penghormatan dari kalangan luas sebagai pejabat pemerintah yang terkemuka” (1989:81 Sekalipun Tirtokeosomo adalah Bupati Karanganyar, namun tidak banyak masyarakat Karanganyar dan Kebumen yang mengenalnya sebagai Ketua Budi Utomo pertama. Beberapa buku sejarah hanya mengulasnya secara sekilas. Perlu diketahui, sebelum Karanganyar menjadi salah satu Kecamatan di wilayah Kabupaten Kebumen, pasca kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), salah satu Kadipaten yang dahulunya bernama Roma (masuk wilayah Kesultanan Yogyakarta) pada tahun 1841 diubah oleh Belanda menjadi Regentschap Karang-anjar (Kabupaten) Kebumen). Dalam laporan koran De Locomotief bertanggal 21 Maret 1874, disebutkan bahwa Regentschap Karanganyar memiliki sejumlah distrik, yaitu Karanganyar, Gombong, Soka, Petanahan, Puring, Karangbolong. Bupati Karanganyar Tirtokoesoemo adalah bupati kedua setelah sebelumnya dipimpin oleh bupati pertama Karanganyar bernama K.R.M.A.A. Djodjodiningrat. Apa yang dapat kita ketahui tentang sepak terjang Tirtoekoesomo? Pria kelahiran tahun 1859 ini dikarunia delapan anak yang terdiri dari 3 anak laki-laki dan lima anak perempuan, yaitu R. Iskandar Tirtokoesoemo Tirtokoesoemo, R. Abdullah Tirtokoesoemo Tirtokoesoemo, R. Ay Nap Tirtokoesoemo, R. Ay Landep Tirtokoesoemo, R. Ay Soehito “R. Ay Dooren” Tirtokoesoemo, R. Ay Soehidah “R. Ay Kapitan Wardiman” Tirtokoesoemo, R. Sriboewono “R. Ay. Bupati Demak” Tirtokoesoemo, R.M. Singgih Tirtokoesoemo (soemodiwirjan.org). Sebuah riwayat ringkas saya temukan dalam koran berbahasa Belanda dalam sambutan kewafatannya pada tahun 1924 yang diterbitkan oleh harian De Telegraaf bertanggal 07 November 1924. Koran tersebut menyebutkan bahwa Tirtokeosoemo adalah merkwaardigen man (pria yang luar biasa) yang telah mengabdikan dirinya demi kepentingan pemerintah dan rakyat.
(Sambungan) Saya meringkaskan isi koran yang berisikan penjelasan riwayat hidup Tirtokoesoemo sbb: Berasal dari keluarga besar, ayahnya adalah bupati di Madiun. Tirtokoesoemo memulai kariernya sebagai seorang magang (juru tulis pribumi) dengan Mr. Kihsinger, seorang hakim di Jawa Tengah. Karena kesukaannya pada pertanian, beberapa tahun kemudian ditempatkan sebagai siswa di sekolah pertanian di Buitenzorg (Bogor sekarang) di mana almarhum Prof. Dr. Treub adalah direktur pada saat itu. Setelah tiga tahun ujian akhir, diangkat sebagai asisten guru. Dibekali dengan pengetahuan teoretis dan praktis tentang pertanian penduduk asli, Tirtokoesoemo dipindahkan ke jabatan pangreh praja (inlandsch bestuur) dan diangkat sebagai asisten Wedono dari kecamatan Kedu di afdeling Temanggoeng (Kedu). Karena semangat dan dedikasi kerjanya, Tirtokoesoemo berhasil dalam waktu singkat menjadi seorang kepala jaksa negeri dan patik di Magelang. Saat ditunjuk menjadi Bupati Karanganyar pada usianya telah memasuki lima puluh tahun. Bukan hanya sebagai pejabat pemerintah (ambtenaar), Tirtokoesoemo memiliki minat besar di bidang pertanian (landbouw) dan peternakan (veoteeit). Pemerintah Belanda menganugerahinya bintang kehormatan Officierskruis der Oranje Nassau-orde atas sejumlah dedikasi kerjanya. Minatnya pada pengembangan moral dan spiritual Jawa mengantarkannya mendapatkan kepercayaan sebagai voorzitter der Vereeniging Boedi Oetomo (Ketua Perkumpulan Budi Utomo). Peran lainnya adalah mendirikan Javaansche meisjesschool te Karang-Anjar (sekolah perempuan Jawa di Karanganyar) di mana putrinya yang bernama Raden Adjeng Soewito menjadi kepala sekolahnya. Sekolah ini disubsidi oleh pemerintah selama beberapa tahun dan kemudian berubah menjadi sekolah pemerintah. Bagi banyak orang, Tirtoekoesoemo adalah sumber informasi tentang masalah yang terkait dengan pertanian asli. Nasihatnya selalu dipertimbangkan dan disaksikan oleh pikiran yang jernih dan wawasan yang benar. Bahwa ia selalu merasa tertarik pada pertanian, dapat dilihat bahwa setelah pensiun pada usia lebih dari 60 tahun, ia masih mengolah lahan seluas 40 hektar di bagian Cilacap tepatnya di desa Cikondang yang akan ditetapkan untuk penanaman padi dan kelapa. Tirtoekoesoemo tetap dan bekerja di sana sampai hari-hari terakhir hidupnya, sehingga ia dapat bersaksi dengan benar bahwa ia bekerja selama itu, menolak semua tampilan eksternal, untuk kebaikan rakyatnya. Demikian laporan koran De Telegraf. Fakta menarik lainnya berasal dari koran Het Nieuws van den dag terbitan 31 Oktober 1924 berisikan ungkapan duka cita keluarga. Di mana tertulis sebuah keterangan di bawah nama dan bintang jasa sbb: “Broeder Tidar Loge, Magelang” (Loji Persaudaran Tidar, Magelang). Sebagaimana dijelaskan Iskandar P. Nugraha, pada periode pra kemerdekaan banyak bupati dan priyayi Jawa bergabung dengan organisasi persaudaraan (Freemasonry) dan Teosofi termasuk para pendiri organisasi kebangsaan (Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia, 2011:35). Demikian pula keanggotaan Tirtokoesoemo dalam organisasi Teosofi harus diletakkan dalam konteks sosial pada zaman itu. Anthony Reids dalam The Study of the Southeast Asian Past menyebut Tirtokoesoemo anggota Freemason (1912:313). Namun tidak sebagaimana digambarkan dalam banyak buku bernuansa konspirasi, di era kolonial organisasi Freemasonry dan Teosofi adalah organisasi persaudaraan dan kebatinan yang terbuka dan dilindungi pemerintah dan mayoritas yang menjadi anggota adalah para pejabat pemerintah. Kita dapat membaca karya DR. Th. Stevens berjudul, Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (2004) untuk memahami gerakan ini di era kolonial. Melihat sepak terjang dan jasa R.A.A. Tirtokoesoemo dan peranannya dalam memimpin organisasi kebangsaan pertama bernama Budi Utomo, sudah selayaknya pemerintahan daerah Kabupaten Kebumen dan masyarakat Karanganyar patut berbangga dan mengapresiasi jasanya dan menjadikannya bagian dari kurikulum sejarah lokal agar menjadi pengetahuan publik.
SALAH satu tujuan utama kedatangan saya ke Den Haag adalah mencari arsip-arsip yang berkaitan dengan Boedi Oetomo. Organisasi yang digagas oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo dan didirikan oleh dr. Soetomo itu berdiri pada 20 Mei 1908. Hari berdirinya Boedi Oetomo lantas diberlakukan sebagai hari kebangkitan nasional, karena dianggap sebagai awal tersemainya benih-benih nasionalisme Indonesia sekaligus dianggap sebagai organisasi modern pertama di Indonesia. Banyak terjadi perdebatan ihwal penetapan tersebut. Ide awal berdirinya organisasi ini lebih kepada untuk membantu pendanaan mahasiswa kedokteran yang sekolah di Stovia. Namun pada kenyataannya organisasi ini bergerak lebih jauh. Sebagian anggotanya, yang datang dari generasi muda, mulai mendiskusikan ke arah mana nasib bangsa Hindia. Ada perdebatan di dalam, tentang akan kemana nasionalisme akan dituju: Nasionalisme Hindia atau Jawa. Hanya selang setahun setelah berdirinya, organisasi ini mengalami kemunduran. Pangkal perkaranya karena organisasi ini dikuasai oleh para kaum feodal. Ketua Boedi Oetomo, Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, lebih terlihat sebagai seorang yang tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Dia bukan seseorang yang datang dengan gagasan kemerdekaan di kepalanya. Tak lama kemudian kedudukan Tirtokoesomo digantikan oleh Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman. Boedi Oetomo semakin terlihat sebagai perkumpulan kaum ningrat ketimbang organisasi pembebasan yang progresif. Perpecahan pun mulai terjadi di dalam. Sebagian anggota muda menyatakan keluar dari organisasi. Tjipto Mangoenkosoemo salah satu yang memprotes keras arah kebijakan organisasi yang semakin konservatif. Feodalisme memang tumbuh subur di bawah kolonialisme Belanda. Pemerintah kolonial merawat feodalisme untuk bisa kuat berkuasa mencengkeram Hindia Belanda. Persis apa kata Multatuli dalam roman Max Havelaar bahwa untuk menguasai orang Jawa, cukuplah dengan menguasai para kepalanya. Sehingga rakyat jajahan akan lebih mudah dikuasai dengan menggunakan perantara para kepalanya. Tak aneh jika zaman Belanda, hanya kaum priayi yang bisa dapat akses ke pendidikan terbaik, di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda. Salah satu orang yang mendapatkan sedikit dari keberuntungan itu adalah Hussein Djajadiningrat. Lulus dari HBS, Hussein melanjutkan kuliah di Universiteit Leiden. Pada 1913, dia lulus doktor dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul De Critische Bewchouwing van De Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sejarah Banten). Disertasi itu ditulis di bawah bimbingan Snouck Hurgronje, pakar Islam yang disebut-sebut banyak memainkan peran penting dalam penaklukan Aceh. Sebagai orang Indonesia pertama yang meraih doktor di Leiden, Hussein banyak mendapat banyak sanjungan dari kolega Belandanya. Untuk mengenangnya, akhir Maret lalu Universiteit Leiden membuatkan patung sosok Hussein yang disimpan di ruang pamer kampus. Sejumlah barang pribadi milik Hussein juga dipamerkan di ruangan yang terletak di lantai dasar Academiegebouw itu. Setelah lulus dari Leiden, Hussein bekerja di Kantor Urusan Bumiputera (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Salah satu kegiatan dia adalah membuat laporan tentang aktivitas orang-orang bumiputera. Salah satu dokumen yang saya temukan di kantor Arsip Nasional Belanda adalah laporan yang ditulis oleh Hussein mengenai jalannya sidang Boedi Oetomo di Surakarta, 24–26 Desember 1921. Laporan tersebut ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam laporan disebutkan secara mendetail tentang bagaimana jalannya pertemuan tersebut. Hussein melaporkan tentang seorang pembicara yang mengemukakan pentingnya memiliki alasan politik dalam menjalankan aksi-aksi Boedi Oetomo. Dia juga mencatat apa-apa saja yang akan dilakukan oleh Boedi Oetomo, mulai dalam bidang sosial sampai dengan urusan pendidikan. Dari laporan yang dia buat, dan bukan hanya satu laporan saja, Hussein lebih tampak sebagai seorang mata-mata ketimbang ilmuwan kesohor lulusan Leiden. Ini jelas menimbulkan pertanyaan. Apakah laporan-laporan itu ditujukan untuk karya ilmiah? Apakah memang laporan tersebut sebagai bagian dari kewajiban pekerjaannya di Kantor Urusan Bumiputera? Untuk kepentingan apa dia mencatat dan melaporkan itu ke pemerintah kolonial Belanda? Karena penasaran, saya pun pergi mengunjungi kampus Universitas Leiden. Ditemani dua orang mahasiswa asal Indonesia, Jajang Nurjaman dan Ravando, kami ingin “menengok” di mana patung Hussein berada. Tapi ternyata, patung yang akhir Maret lalu diresmikan Wapres Boediono tak ada di ruang pamer. Kami mencoba untuk mencari ke seantero gedung, tapi tak jua menemukan di mana patung tersebut berada. Lantas kami berandai-andai, “jangan-jangan Hussein tak sedang menyamar jadi patung hari itu.” Ya mungkin. Atau, dia sedang membuat laporan tentang soal lainnya. (HR/Red)